My picture

My picture
Bualazatulo Tafonao, S.Pi

Selasa, 04 Oktober 2011

HUBUNGAN TEMPERATUR, OKSIGEN TERLARUT DAN SALINITAS DENGAN PREVALENSI PARASIT PADA IKAN KERAPU LUMPUR (Epinephelus tauvina)


HUBUNGAN TEMPERATUR, OKSIGEN TERLARUT DAN SALINITAS DENGAN PREVALENSI PARASIT PADA IKAN KERAPU LUMPUR
(Epinephelus tauvina)




ABSTRACT


BUALAZATULO TAFONAO, NPM 07310016. Fishery Faculty AQUACULTURE. CORRELATION OF TEMPERATURE, DISSOLVED OXYGEN AND SALINITY WITH PARASITES PREVALENCE  ON MUD GROUPER FISH (Epinephelus tauvina). Guided by Prof. Dr.Ir. Hasan Sitorus, MS and Dedy Arief Hendriyanto, S.St.Pi, M.Si


The aimed of this observation research are to analyze the correlation of water quality parameters of temperature, dissolved oxygen and salinity with parasites prevalence on mud grouper fish (Epinephelus tauvina) by using multiple linier regression , and to analyze the impact of local climate changes (rainy-dry) on water quality changes by t test at brackish pond of UD Sundoro, Belawan.  Parasites origin from gill and skin was identified through microscope observation.  The kinds of parasite that infected the grouper were Diplectanum sp (63.3 %), Haliotrema sp (45 %) and Trichodina sp (40 %).  Regression analysis shows that water quality parameters of temperature, dissolved oxygen and salinity has significant correlation (R : 0.78) with parasite prevalence on mud grouper fish, while t test shows that local climate changes (rainy-dry) has not siginificant effect on water quality changes at brackish pond of UD Sundoro, Belawan.
Key words :  water quality, parasite prevalence, mud grouper.



RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Dolidoli, pada 29 Maret 1988 sebagai anak kedua dari enam bersaudara, dari Ayah bernama Faudumbowo Tafonao dan Ibu bernama Atizami Hulu. Penulis menyelesaikan jenjang pendidikan sekolah dasar tahun 2011 di SDN Umbusisarahili Gomo, lulus dari SMP Swasta Bunga Mawar Gunungsitoli tahun 2004 dan lulus dari SMUN 3 Gunungsitoli tahun 2007.
Tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan. Selama kuliah, penulis pernah mengikuti Praktek Kerja Lapangan Budidaya Ikan Gurami (Osphronemus Gurami Lacepe) di Balai Benih Ikan (BBI) Kerasahan Simalungun pada 2010.
Selama di Universitas Dharmawangsa penulis aktif di organisasi kampus,  dan menjadi  Wakil Ketua IMPAD tahun 2009.  Penulis juga pernah melakukan Praktikum Kualitas Air, Tanah, Pemeriksaan Penyakit Bakteri dan Parasit, Teknik Pembuatan Hipofisa, Pemberian Pakan, Uji Toksisitas, Penetasan Artemia dan Teknik Penyuntikan Ikan.
Untuk menyelesaikan studi di Universitas Dharmawangsa, penulis melakukan penelitian sebagai tugas akhir dengan judul ”Hubungan Temperatur, Oksigen Terlarut dan Salinitas dengan Prevalensi Parasit pada Ikan Kerapu Lumpur (Epinephelus taufina), UD Sundoro Belawan Sumatera Utara”.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Sektor Kelautan dan Perikanan merupakan salah satu sumber andalan dalam pembangunan perikanan di Indonesia. Produksi dari perikanan budidaya sendiri secara keseluruhan diproyeksikan meningkat dengan rata-rata 4,9 % per tahun. Target tersebut antara lain didasarkan atas dasar potensi pengembangan daerah perikanan budidaya yang memungkinkan di wilayah Indonesia. Melihat besarnya potensi pengembangan perikanan budidaya serta didukung peluang pasar internasional yang  masih terbuka luas, maka diharapkan sumbangan produksi perikanan budidaya semakin besar terhadap produksi nasional dan penerimaan devisa negara, keterkaitannya dalam penyerapan angkatan, serta peningkatan kesejahteraan petani/nelayan di Indonesia. Pada akhir tahun 2009, kontribusi dari produksi perikanan budidaya diharapkan dapat mencapai 5 juta ton dan ekspor sebesar US $ 6,75 milyar. Untuk mencapai target produksi perikanan sesuai dengan yang diharapkan, berbagai permasalahan menghambat upaya peningkatan produksi tersebut, antara lain kegagalan produksi akibat serangan wabah penyakit ikan yang bersifat patogenik baik dari golongan parasit, jamur, bakteri, dan virus (KKP, 2010).
 Penyakit ikan biasanya timbul berkaitan dengan lemahnya kondisi ikan yang diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu antara lain penanganan ikan, faktor pakan yang diberikan, dan keadaan lingkungan yang kurang mendukung. Pada padat penebaran  ikan yang tinggi jika faktor lingkungan  kurang menguntungkan misalnya kandungan zat asam dalam air  rendah, pakan yang diberikan kurang tepat baik jumlah maupun mutunya, penanganan ikan kurang sempurna, maka ikan akan  menderita stress.
Kerapu adalah ikan yang hidup di air yang berkadar garam tinggi (air laut) hingga air yang berkadar garam rendah (payau). Selain itu, kerapu merupakan ikan yang hidup di dasar perairan yang cukup dalam (pada kedalaman 70 meter) hingga pada dasar perairan dangkal atau di muara sungai. Ikan kerapu merupakan jenis ikan bertipe hermaprodit proptogyni, dimana proses deferensiasi gonadnya berjalan dari fase betina ke fase jantan atau ikan kerapu ini memulai siklus hidupnya sebagai ikan betina kemudian berubah menjadi ikan jantan. Budidaya ikan laut di Indonesia mulai berkembang karena adanya permintaan pasar dan harga yang semakin meningkat dewasa ini serta semakin terbatasnya penyediaan stok ikan dari hasil tangkapan.
Menteri Kelautan dan Perikanan, mengklaim bahwa kementerian yang dipimpinnya telah berhasil merealisasikan sejumlah target pada sektor kelautan dan perikanan pada tahun 2010. Produksi perikanan budi daya yang berasal dari kegiatan penangkapan dan budi daya telah mencapai 10,83 juta ton. Pencapaian sebesar 10,83 juta ton tersebut berarti melampaui target sasaran yang dipatok yaitu sebesar 10,76 juta ton. Hal tersebut antara lain karena laju pertumbuhan produksi perikanan budidaya periode 2006 – 2010 mengalami peningkatan hingga 19,56 persen, jauh melebihi laju pertumbuhan perikanan tangkap yang hanya sebesar 2,78 persen pada periode sama. Laju pertumbuhan produksi perikanan budi daya meningkat lebih signifikan dibandingkan dengan perikanan tangkap. Selain itu, lanjutnya, pada tahun 2010 ini pertama kalinya volume produksi perikanan budidaya telah melampaui perikanan tangkap, dimana perikanan budidaya menyumbang 50,55 persen dari total produksi 2010 (KKP, 2010).
Untuk mencapai target tersebut, saat ini Indonesia telah membidik pasar baru, yaitu Timur Tengah dan Afrika. Selama ini, lanjutnya, ekspor Indonesia masih didominasi ke negara tujuan tradisional, yaitu Jepang, negara-negara Eropa, dan Amerika Serikat dengan persentase sebesar 70% dari total ekspor. Selanjutnya ke Asean yang mencapai 12% dan sisanya ke Asia Timur sebesar 11%.
Pada tahun ini, Indonesia telah mencoba masuk di pasar Timur tengah dan Afrika. Sebab potensi ekspor ke dua negara tersebut sangat besar. Bahkan, menurut Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia (2011), produksi budidaya perikanan Indonesia 2004 s/d 2010 mencapai 5.380.000 ton. Sepanjang 2010 bisnis sektor perikanan tangkap di Indonesia dinilai sukses. Angka produksi mencapai 5,384 juta ton naik 5,42%. dan nilainya juga mencapai Rp 61,24 triliun atau naik 13,56%. Peningkatan nilai produksi juga jauh di atas pencapaian volume produksi. Nilai produksi perikanan tangkap tahun 2010 mencapai Rp 61,24 triliun, naik 13,56% dari tahun 2009 (Rp 53,93 triliun). Target nilai produksi tahun 2010 adalah Rp 87,275 triliun.
Usaha budidaya laut merupakan salah satu usaha yang dapat memberikan alternatif sumber penghasilan untuk meningkatkan pendapatan bagi nelayan.  Apabila usaha budidaya berkembang, maka produksi ikan dapat ditingkatkan baik jumlah maupun mutunya. Dampak lebih lanjut dari usaha ini adalah kesejahteraan masyarakat nelayan mengalami peningkatan (Akbar, 2001).
Salah satu permasalahan yang timbul pada budidaya ikan kerapu di keramba jaring apung adalah terjadinya penyakit. Kematian ikan kerapu di keramba jaring apung dan induk ikan kerapu di panti benih merupakan kendala yang sering dihadapi. Pada ikan kerapu yang mati biasanya banyak ditemukan parasit, baik pada insang, kulit, maupun usus. Ikan kerapu yang dibudidayakan pada  keramba jaring apung pada kondisi kepadatan tinggi, dan jaring kotor serta jarang diganti dan dibersihkan, memacu kecepatan perkembangbiakan organisme parasit dan penyakit sehingga dapat merugikan inang, bahkan dapat menyebabkan kematian.  
Berkembangnya pasaran ikan kerapu hidup karena adanya perubahan selera konsumen dari ikan mati atau beku kepada ikan dalam keadaan hidup, telah mendorong masyarakat untuk memenuhi permintaan pasar ikan kerapu melalui usaha budidaya. ikan kerapu telah dilakukan dibeberapa tempat di Indonesia, salah satunya di UD Sundoro (Fish Farm and  Trading) di Belawan.
Untuk dapat mengetahui dan memahami dengan baik penyebaran penyebaran penyakit dan pola penyakit ketika menginfeksi ikan, diperlukan pengetahuan tidak hanya jenis-jenis penyakit saja, tetapi juga mengenai karakteristik air yang merupakan habitat ikan dan penyakit itu.
Dengan mengetahui hubungan antara aspek di dalam air, baik ikan, penyakit maupun air, maka perlu diketahui seberapa besar hubungan parameter fisika dengan prevalensi parasit terhadap ikan kerapu lumpur.
Berikut dikemukakan beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk menciptakan kondisi yang optimum bagi ikan guna menghindari dari serangan parasit di wadah budidaya yaitu air seperti temperatur, oksigen terlarut dan salinitas.
Temperatur sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan ikan. Distribusi temperatur secara vertikal perlu diketahui karena akan mempengaruhi distribusi mineral dalam air karena kemungkinan terjadi pembalikan lapisan air. Perubahan temperatur yang drastis dapat mematikan ikan karena terjadi perubahan daya angkut darah. Seperti diketahui daya angkut darah akan lebih rendah pada temperatur tinggi dan temperatur juga mempengaruhi selera makan ikan dan sebaliknya, bila temperatur rendah maka ikan akan kehilangan nafsu makan sehingga pertumbuhan lambat dan pada saat kondisi ikan lemah maka parasit sangat cepat bereaksi menginfeksi karena beberapa pathogen berkembang pada kondisi tertentu.
Oksigen merupakan salah satu faktor pembatas sehingga bila ketersediaannya di dalam air tidak mencukupi kebutuhan ikan, maka segala aktifitas ikan akan terhambat.
Menurut Mulyanto (1992), kebutuhan oksigen mempunyai dua aspek, yaitu kebutuhan lingkungan bagi spesies tertentu dan kebutuhan konsumtif yang tergantung pada keadaan metabolisme ikan. Perbedaan kebutuhan oksigen dalam suatu lingkungan bagi ikan dari spesies tertentu disebabkan oleh adanya perbedaan struktur molekul sel darah ikan yang mempengaruhi hubungan antara tekanan parsial oksigen dalam air dan derajat kejenuhan oksigen dalam sel darah. Antara oksigen dan temperatur berbanding terbalik, jika temperatur sangat tinggi maka kelarutan oksigen menurun, begitu sebakliknya. Hal ini dikarenakan, temperatur yang tinggi maka terjadi penguapan dipermukaan air, sehinggga kelarutan oksigen menurun.
Semakin besar jumlah ion yang terkonsentrasi didalam air, maka tingkat salinitas dan kepekatan osmolar larutan semakin tinggi, sehingga tekanan osmotik media semakin membesar. Tingkat salinitas yang terlalu tinggi atau rendah dan fluktuasinya lebar, dapat menyebabkan kematian pada ikan (Anggoro, 1992). Kematian ikan tersebut disebabkan gejala osmolaritas internal, yaitu terganggunya keseimbangan osmolaritas antara media hidup, dengan cairan tubuh (Internal dan eksternal), serta berkaitan dengan perubahan daya absorpsi terhadap oksigen. Semakin tinggi salinitas media makin rendah kapasitas maksimum kelarutan oksigen dalam air (Smith, 1982).
Parasit yang muncul pada ikan selain di pengaruhi kondisi ikan yang lemah juga cara penyerangan dari organisme yang menyebabkan penyakit tersebut. Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit pada ikan antara lain fluktuasi temperatur, oksigen terlarut dan salinitas.
Oleh karena itu untuk mencegah serangan parasit pada ikan dapat dilakukan dengan cara mengetahui hubungan antara parameter kualitas air dengan prevalensi. Penyakit dapat diartikan sebagai organisme yang hidup dan berkembang di dalam tubuh ikan sehingga organ tubuh ikan terganggu. Jika salah satu atau sebagian organ tubuh terganggu, akan terganggu pula seluruh jaringan tubuh ikan. Pada prinsipnya penyakit yang menyerang ikan tidak datang begitu saja, melainkan melalui proses hubungan antara tiga faktor, yaitu kondisi lingkungan (kondisi di dalam air), kondisi inang (ikan) dan kondisi jasad patogen (agen penyakit). Dari ketiga hubungan faktor tersebut dapat mengakibatkan ikan sakit. Sumber penyakit atau agen penyakit itu adalah seperti parasit.
Berdasarkan hal-hal yang di kemukakan di atas, maka perlu dilakukan penelitian dengan judul yaitu “Hubungan Temperatur, Oksigen Terlarut dan Salinitas dengan Prevalensi Parasit pada Kerapu Lumpur (Epinephelus tauvina).

1.2.       Identifikasi Masalah
a.       Bagaimanakah hubungan antara parameter kualitas air dengan prevalensi parasit pada ikan kerapu lumpur?
b.      Bagaimanakah pengaruh cuaca terhadap perubahan kualitas air?

1.3.       Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan antara parameter temperatur, oksigen terlarut dan salinitas dengan prevalensi parasit pada ikan kerapu lumpur di UD Sundoro (Fish Farm and  Trading) di Belawan.
1.4.       Manfaat Penelitian
a.       Sebagai sumbangan informasi bagi pembudidaya ikan kerapu dalam upaya pengendalian parasit untuk meningkatkan produksi.
b.      Sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat dalam melaksanakan usaha budidaya ikan sesuai perubahan cuaca.

1.5.       Hipotesis
Ada hubungan antara parameter kualitas air terhadap prevalensi parasit pada ikan kerapu lumpur.

BAB II
TIJAUAN PUSTAKA

2.1.    Klasifikasi Ikan Kerapu lumpur
Sunyoto (2000), menjelaskan bahwa ikan kerapu lumpur (Epinephelus tauvina) diklasifikasikan sebagai berikut:
Phylum    : Chordata
       Sub Phylum : Vertebrata
                 Kelas   : Pisces
                          Sub Kelas   : Teleostei
                                    Ordo          : Percomorphi
                                             Sub Ordo   : Percoidea
                                                      Familia   : Serranidae
                                                                Sub Familia : Epinephelinae
                                                                         Genus : Epinephelus
                                                                                   Spesies : Epinephelus tauvina
Ikan kerapu lumpur memiliki nama umum (common name) Grouper. Golongan ikan kerapu yang paling banyak dikenal adalah golongan Epinepelus sp, dan yang paling banyak dibudidayakan adalah jenis kerapu Lumpur (Epinephelus tauvina) dan kerapu macan.
Kerapu Lumpur (Epinephelus tauvina) memiliki tubuh yang lebih tinggi dengan bintik-bintik yang rapat dan berwarna gelap, sirip ikan kerapu lumpur berwarna kemerahan, sedangkan bagian sirip yang lain berwarna coklat kemerahan (Sunyoto, 2000).


2.2.      Morfologi Ikan Kerapu Lumpur
P.17-19
 
V.17-19
 
A.III. 8-9
 
C.I.30-33

 
D.XI. 16-18
 

Gambar 1. Morfologi ikan kerapu lumpur (Epinephelus tauvina)
Ikan kerapu lumpur memiliki tubuh memanjang. Kepala dan tubuh ikan kerapu lumpur berwarna kecoklatan, coklat kemerahan atau abu-abu keunguan, yang ditutupi dengan sejumlah bintik-bintik orange kemerahan, keemasan atau bintik kuning (kecuali bagian ventral). Sirip dorsal ikan kerapu Epinephelus tauvina  terdiri dari 16 – 18 duri lunak dan 11 duri-duri keras. Sirip anal dengan 3 buah duri keras dan 8 atau 9 duri lunak. Sirip pectoral terdiri dari 17 – 19 duri lunak. Sirip ekor berbentuk agak cembung. Angka Romawi menunjukan jumlah jari–jari sirip keras, sedangkan angka arab menunjukan jumlah jari-jari lemah. Angka arab yang terletak pada sebelah depan mengisyaratkan jumlah jari-jari lemah mengeras. Jari-jari keras tidak berbuku-buku, keras dan tidak dapat dibengkokan, sedangkan jari-jari lemah bentuknya seperti tulang rawan, beruas-ruas dan elastis (Heemstra dan Randall, 1993).

2.3.    Biologi Kerapu Lumpur
Ikan kerapu lumpur memiliki nilai pasar yang tinggi, meskipun tingkat harga di pasaran tergantung spesies (Sunyoto, 2000). Di kalangan internasional ikan ini dinamakan grouper, rock cods, hinds dan sea basses (Randall, 1993). Di alam, ikan kerapu termasuk karnivora buas yang umumnya memakan berbagai jenis ikan, udang (cephalophoda), dan krustacea yang berukuran 10 – 25 % dari ukuran tubuhnya (Sunyoto, 2000). Makanan utama ikan kerapu yang belum dewasa adalah fauna bentik yang berada di daerah terumbu karang dari perairan pantai yang dangkal, sedangkan ikan kerapu yang berukuran lebih besar adalah pemakan ikan-ikan kecil dan invertebrata pelagis. Ikan kerapu merupakan filter feeder (Heamstra dan Randall, 1993).
Ikan kerapu merupakan spesies Indopasifik barat yang mempunyai lebih dari 46 spesies yang tersebar luas dari teluk Persia sampai Taiwan, Indonesia dan pesisir pantai Australia bagian utara. Ikan kerapu di temukan di perairan tropis dan subtropis. Umumnya ikan kerapu menghuni daerah terumbu karang yang memiliki produktivitas tinggi. Beberapa jenis ikan kerapu hidup di daerah estuaria (Heamstra dan Randall, 1993).
Golongan ikan kerapu yang paling banyak jumlah jenisnya adalah dari genus Epinephelus, namun yang paling dikenal dan banyak dibudidayakan adalah jenis kerapu macan dan kerapu lumpur (Sunyoto, 2000).
Ikan kerapu hidup secara alamiah di antara terumbu karang. Ikan kerapu hidup pada kedalaman 40 – 50 meter, dengan temperatur 27 – 32 ºC. Ikan kerapu termasuk ikan laut yang dapat hidup pada kisaran salinitas 15 – 45 ppt dan tahan dalam kondisi air tawar selama 15 menit. Ikan kerapu umumnya hidup menyendiri (soliter), menyenangi naungan (shelter) sebagai tempat persembunyian dan menghindar dari serangan sinar matahari secara langsung (Sianipar, 1988).

2.4.    Kebiasaan Makan Ikan Kerapu Lumpur
Ikan kerapu lumpur (Epinephelus tauvina) merupakan hewan karnivora yang memangsa ikan-ikan kecil, kepiting, dan udang-udangan, sedangkan larva memangsa larva moluska. Ikan kerapu lumpur menangkap/menyergap mangsa yang aktif bergerak di dalam kolam air (Nybakken, 1988). Ikan kerapu lumpur juga bersifat kanibal dan hal ini mulai terjadi saat larva kerapu berumur 30 hari, dimana pada saat itu larva cenderung berkumpul di suatu tempat dengan kepadatan tinggi (Kordi, 2001).
Ikan kerapu lumpur mencari makan dengan cara menyergap mangsa dari tempat persembunyiannya. Pakan buatan yang diberikan akan dimakan satu per satu sebelum makanan tersebut sampai ke dasar (Anonymous, 1996).

2.5.    Reproduksi Ikan Kerapu Lumpur
Ikan kerapu lumpur (Epinephelus tauvina) bersifat Hermaprodit Protogini, yaitu perubahan kelamin dari betina dan menjelang dewasa akan berubah menjadi jantan (Sunyoto, 2000). Ketika ikan kerapu masih muda (juvenile), gonadnya mempunyai daerah ovarium dan daerah testis. Jaringan ovari kemudian mengisi sebagian gonad dan setelah jaringan ovari berfungsi mampu menghasilkan telur, kemudian akan terjadi transisi dimana testisnya akan membesar dan ovarinya mengkerut. Ikan kerapu lumpur yang sudah tua umumnya ovarium sudah teroduksi sekali sehingga sebagian besar dari gonad terisi oleh jaringan lain. Fase produksi pada induk betina di capai pada panjang tubuh antara 45-50 cm dengan berat 3-10 kg dan umur kurang lebih 5 tahun, selanjutnya menjadi jantan yang matang gonad pada ukuran minimal 74 cm dengan berat kurang lebih 11 kg.

2.6.       Pertumbuhan dan perkembangan Kerapu Lumpur
Sebagaimana halnya dengan ikan kerapu lainnya, kerapu lumpur bersifat protogony hermaphrodite. Artinya, jenis kelamin ikan berubah sejalan dengan pertumbuhannya. Pada waktu masih berumur 3 tahun atau kurang, ikan ini berkelamin betina. Namun sesudah berumur lebih dari 4 tahun ikan ini berubah kelamin menjadi jantan tanpa perubahan morfologi yang jelas. Kedewasaan pertama tercapai pada ukuran 25-30 cm saat berumur 2-3 tahun. Di KJA jenis ikan ini memijah sepanjang tahun dengan puncaknya terjadi pada bulan Juni – Oktober. Seekor betina berukuran 35 cm dapat menghasilkan telur sebanyak 850.000 butir/satu kali memijah, sedangkan ikan yang lebih besar dapat menghasilkan hampir 3 juta butir. Ikan ini tumbuh cepat. Pertumbuhan ikan kerapu lumpur beragam, tergantung pada bobot awal, mutu, dan jumlah pakan yang digunakan dan kondisi lingkungan. Panjang maksimum yang dapat dicapai sampai 95 cm (Sunyoto, 2000).


2.7.       Pengelolaan Budidaya
Benih ikan kerapu dapat diperoleh dari alam atau dari hatchery. Di alam, benih ikan kerapu lumpur banyak hidup di perairan sekitar muara sungai yang berdasar lumpur dan ditumbuhi lamun (seagrass). Adapun musim benihnya berbeda pada setiap tempat. Ukuran benih yang tertangkap bervariasi, mulai dari 2-10 cm dengan bobot 5-25 g. Penangkapannya dengan pukat pantai, sudu, pancing, dan bubu. Benih kerapu bisa juga diperoleh di hatchery. Waktu penebaran benih sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari. Keseragaman ukuran benih juga perlu diperhatikan ketika penebaran. Tujuannya untuk mengurangi pemangsaan akibat sifat kanibal. Selain keragaman, kepadatan penebaran benih juga harus diperhatikan. Benih berukuran 5-10 g dapat ditebar dengan kepadatan 75 ekor/m3, sedangkan kepadatan tebar benih berukuran 20-25 g sekitar 50 ekor/m3. Jika telah berukuran 150-200 g, kepadatannya harus dikurangi menjadi 40 ekor/m3. Jumlah ikan yang ditebarkan saat berukuran 100 g adalah 400 ekor (Sunyoto, 2000).

2.8.    Penyakit Parasit
Parasit ikan merupakan organisme yang hidup pada oraganisme lain dan memanfaatkannya untuk hidup, yang kemudian menyebabkan timbulnya suatu penyakit. Adanya parasit ikan pada budidaya perikanan umumnya baru diketahui setelah timbulnya kematian ikan, hal ini karena gejala klinis yang ditimbulkannya tidak langsung kelihatan, untuk itu perlu pemeriksaan laboratorium untuk pencegahan sejak dini.
Beberapa organisme dalam lingkungan akuatik bersifat parasit pada ikan/udang yang dapat mengganggu kesehatan ikan sehingga berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas produksi ikan terutama yang berukuran benih. Organisme yang termasuk parasit dapat dikelompokkan atas protozoa, helminthes (platyhelminthes, nemathelminthes, acanthochepala), dan parasit crustacea (branchiura, copepod, dan isopoda).
Monogenea merupakan parasit umum yang ditemukan di insang dan kulit ikan air tawar maupun laut. Infestasi monogenea biasanya merupakan indikator sanitasi yang rendah pada kualitas air, sebagai contoh tingginya amoniak dan nitrit, polusi bahan organik dan oksigen rendah. Mereka dapat sangat cepat bereproduksi dengan kondisi seperti itu (Noga, 2000).
Parasit ada di lingkungan perairan seperti juga ikan hidup di lingkungan air. Jika kualitasnya air jelek mengakibatkan ikan stress, tetapi kondisi ini justru merupakan media yang baik bagi parasit sehingga mereka berkembang biak dan populasinya cukup untuk menginfeksi ikan hingga sakit (Taukhid, 2006).
Agen infeksi dan kondisi patologis antara ikan budidaya dan ikan alam mempunyai insidensi berbeda. Seperti yang ditemukan pada ikan sea bass, insidensi Diplectanum sp. pada ikan hasil budidaya mempunyai nilai yang berbeda dengan ikan tangkapan alam. Insedensi pada ikan budidaya lebih tinggi (50%) dibandingkan dengan ikan tangkapan alam (16.66%), mungkin merupakan konsekuensi dari kepadatan yang tinggi karena adanya manipulasi. Diplectanum sp. adalah parasit monogenea yang menyebabkan reaksi proliferative sel-sel epitel insang yang terkena infeksi (Rakovace et al., 2002).
Budidaya ikan laut dengan sistem keramba jaring apung ataupun kolam di Khanh Hoa-Vietnam ditemukan prevalensi parasit sangat tinggi yaitu 71,4% ditemukan di kulit dan 60,3% di insang (dengan jumlah sampel 63). Serangan parasit pada keramba jaring apung lebih tinggi jika dibandingkan dengan sistem budidaya di kolam. Penelitian menunjukkan bahwa penyakit tersebut muncul sepanjang tahun tetapi yang sering terjadi adalah pada musim kemarau (dari April ke September) yang memiliki temperatur tinggi (30 – 34 0C). Penyakit ini terutama menyerang ikan kecil yang beratnya kurang dari 200 gram per ekor (Hoa, 2007).


Tabel 1. Jenis Parasit yang Umum Menyerang Ikan Kerapu, Tingkat Patogenitas,      Tempat Infeksi dan Frekuensi Serangan.
Jenis parasit
Tempat infeksi
Inang
Tingkat patogenitas
Frekuensi
Protozoa
Cryptocaryon irritans


Trichodina Sp.

Insang/ Kulit

Kulit

E. bontoides
E .fuscoguttatus
E. malabaricus
C. altivelis
E. bontoides
E. fuscoguttatus
E. taufina

+++
++
++
+++
++
+++
+++

++
++
+
++
+
+++
+++
Cacing Insang
Haliotrema Sp.

Pseudorhabdosynochus Sp.



Diplectanum Sp.

Insang

Insang

C. altivelis
E. taufina
C. altivelis
E. malabaricus
E. coioides
E. bontoides
E. malabaricus
P. leopardus
E.fuscoguttatus
E. taufina

++
++
++
++
++
++
++
+++
+++
+++

+++
++
++
++
++
++
++
+++
+++
+++
Cacing Kulit
Benedenia Sp. atau
Neobedenia Sp.

Kulit

Seluruh ikan
E.fuscoguttatus

+
++

+++
++
Copepoda
Lepeoptheirus Sp.

Kulit

E. coioides
E. malabaricus
E. fuscoguttatus
P. leopardus

++
++
++
++

++
++
++
++
Sumber : Koesharyani et al., 2002
2.9.    Kualitas Air
2.9.1.   Temperatur
Temperatur adalah kapasitas panas. Penyebaran temperatur dalam perairan dapat terjadi karena adanya penyerapan, angin dan aliran tegak. Sedangkan faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya temperatur adalah :
1.      Latitude (letak tempat terhadap garis edaran matahari).
2.      Altitude (letak ketinggian dari permukaan laut)
3.      Musim.
4.      Cuaca.
5.      Naungan.
6.      Waktu pengukuran.
7.      Kedalaman air.
Peningkatan temperatur mengakibatkan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Peningkatan temperatur juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air, misalnya O2, CO2, N2, CH4 (Hamzah, 2003). Selain itu, meningkatan kecepatan metabolism dan respirasi organisme air serta meningkatnya konsumsi oksigen dalam perairan. Peningkatan temperatur juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organic oleh mikroba.
Cahaya matahari yang masuk ke perairan akan mengalami penyerapan dan perubahan menjadi energi panas. Proses penyerapan cahaya ini berlangsung secara itensif pada lapisan atas sehingga lapisan atas perairan memiliki temperatur yang lebih tinggi dan densitas yang lebih kecil daripada lapisan bawah.
Ditinjau dari segi fisiologis, perubahan temperatur air dapat mempengaruhi kecepatan metabolism pada ikan. Di daerah sub-tropis dan dingin, temperatur air berkaitan erat dengan lama penyinaran matahari, sehingga kedua faktor abiotik tersebut mempengaruhi proses biologi, seperti pematangan gonad, pemijahan dan penetasan telur pada budidaya ikan serta timbulnya parasit.


Menurut Chua dan Teng (1978), kualitas perairan yang optimal untuk pertumbuhan ikan kerapu, seperti temperatur berkisar 24-31oC. Sementara itu Suprakto dan Fahlivi (2007), mengatakan temperatur air pada lokasi budidaya, berkisar 27-29oC.

2.9.2. Oksigen terlarut (O2)
Oksigen merupakan merupakan salah satu gas yang terlarut dalam perairan. Kadar oksigen yang terlarut di perairan bervariasi, tergantung pada temperatur, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Semakin besar temperatur dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil (Boyd, 1988).
Semakin tinggi suatu tempat dari permukaan laut, tekanan atmosfer semakin rendah. Setiap peningkatan ketinggian suatu tempat sebesar 100 m diikuti dengan penurunan tekanan hingga 8 mm Hg – 9 mm Hg. Pada kolom air, setiap peningkatan kedalaman sebesar 10 m disertai dengan peningkatan tekanan 1 atmosfer (Hendriyanto, D.A. 2009).
Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian (diurnal) dan musiman, tergantung pada percampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) massa air, aktifitas fotosintesis, respirasi dan limbah (effluent) yang masuk ke badan air.
Peningkatan temperatur sebesar 1o C akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10% (Boyd, 1988). Dekomposisi bahan organic dan oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol (anaerob).
Hubungan antara kadar oksigen terlarut jenuh dan temperatur menggambarkan bahwa semakin tinggi temperatur, kelarutan oksigen semakin berkurang. Kelarutan oksigen dan gas-gas lain juga berkurang dengan meningkatnya salinitas sehingga kadar oksigen di laut cenderung lebih rendah daripada oksigen di perairan tawar. Daya larut oksigen dalam air pada temperatur 25o C berbeda sesuai ketinggian lahan dari permukaan laut.
Daya larut oksigen dalam air juga menurun dengan meningkatnya kadar garam (salinitas). Pada temperatur 20o C – 30o C, daya larut oksigen menurun sekitar 0,008 mg/l untuk setiap kenaikan salinitas 210 mg/l.
Kecepatan difusi oksigen ke dalam air sangat lambat, oleh karena itu fotosintesa oleh fitoplankton merupakan sumer utama oksigen terlarut dalam system budidaya ikan.
Respirasi plankton dan ikan merupakan penyebab utama berkurangnya jumlah oksigen yang terlarut dalam air an fotosintesis merupakan sumber oksigen terlarut yang utama.
Sebagian besar ikan membutuhkan oksigen terlarut (O2) dalam air sebanyak 3 mg/l. Salah satu faktor pembatas penting dalam budidaya perikanan adalah kandungan oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO). Kandungan oksigen terlarut  untuk pertumbuhan ikan adalah 5 mg/l (Hendriyanto, D.A. 2009).
Kebutuhan oksigen ikan sangat dipengaruhi umur, aktivitas, serta kondisi perairan. Semakin tua organism, laju metabolismenya semakin rendah. Selain itu, umur mempengaruhi ukuran ikan, sedangkan ukuran ikan yang berbeda membutuhkan oksigen yang berbeda pula. Semakin besar ukuran ikan, jumlah konsumsi oksigen per mg berat badan semakin rendah. Selain perbedaan ukuran, perbedaan aktivitas juga menyebabkan perbedaan oksigen. Jenis ikan yang melakukan perburuan, membutuhkan oksigen lebih banyak dibandingkan ikan yang menunggu mangsanya. Namun demikian, pemenuhan kebutuhan ini sangat ditentukan oleh kondisi perairan terutama kelarutan oksigen.
Menurut Chua dan Teng (1978), kualitas perairan yang optimal untuk pertumbuhan ikan kerapu, seperti oksigen terlarut > 3,5 ppm. Sementara itu Suprakto dan Fahlivi (2007), melaporkan kualitas air pada lokasi budidaya, yaitu oksigen > 5 ppm. Parameter ekologis oksigen terlarut yang cocok untuk > 4,9 ppm.

2.9.3. Salinitas
Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan (Boyd, 1998). Salinitas dinyatakan dalam satuan g/kg atau promil (‰).
Smith (1982) mengatakan bahwa Organisme perairan harus melakukan osmoregulasi, karena :
1.      Harus terjadi keseimbangan antara substansi tubuh dan lingkungan .
2.      Membran sel yang semipermeable merupakan tempat lewatnya beberapa substansi yang bergerak cepat .
3.      Adanya perbedaan tekanan osmose antara cairan tubuh dan lingkungan.
Sifat osmotik dari air berasal dari seluruh ion yang terlarut tersebut. Semakin besar jumlah ion yang terkonsentrasi didalam air, maka tingkat salinitas dan kepekatan osmolar larutan semakin tinggi, sehingga tekanan osmotik media semakin membesar. Tingkat salinitas yang terlalu tinggi, atau rendah dan fluktuasinya lebar, dapat menyebabkan kematian pada ikan (Anggoro, 1992). Dikuatkan menurut Kinne dalam Anggoro (1992) kematian ersebut disebabkan gejala osmolaritas internal, yaitu terganggunya keseimbangan osmolaritas antara media hidup, dengan cairan tubuh (Internal dan eksternal), serta berkaitan dengan perubahan daya absorpsi terhadap oksigen. Semakin tinggi salinitas media makin rendah kapasitas maksimum kelarutan oksigen dalam air (Smith, 1982).
Ion-ion yang dominan dalam menentukan tekanan osmotik (osmolaritas) air laut adalah Na + dan Cl -, dengan porsi 30,61 dan 55,04 persen dari total konsentrasi ion-ion terlarut (Nybakken, 1988).
Semakin jauh perbedaan tekanan osmose antara tubuh dan lingkungan, semakin banyak energi metabolisme dibutuhkan, untuk elakukan osmoregulasi sebagai upaya adaptasi.
Osmoregulasi adalah suatu sistim homeostasis pada ikan atau udang untuk menjaga kemantapan millieu interieur-nya, dengan cara mengatur keseimbangan konsentrasi osmotik antara cairan intra sel dan ekstra selnya, beberapa organ tubuh ikan yang berperan dalam proses osmoregulasi ikan, antara lain: Insang, ginjal, dan usus. Organ-organ ini melakukan fungsi adaptasi dibawah kontrol hormone osmoregulasi, terutama hormon-hormon yang disekresi oleh pituitari, Ginjal, dan Urofisis (Smith, 1982).
Ditinjau dari aspek ekofisiologi, organisme air dapat dibagi menjadi dua kategori, sehubungan dengan mekanisme faalinya dalam menghadapi osmolaritas media (Mantel dan Farmer, 1983; Nybakken, 1988; Smith 1982, dalam (Anggoro, 1992) yaitu:
(1.)      Osmokonformer adalah Organime yang secara osmotik labil, karena tidak mempunyai kemampuan mengatur kandungan garam serta osmolaritas didalam cairan internalnya. Oleh sebab itu Osmolaritas cairan tubuhnya selalu berubah dan menyesuaikan kondisi osmolaritasnya.
(2.)      Osmoregulator adalah organisme yang mempunyai mekanisme faali untuk menjaga kemantapan millieu interieurnya, dengan cara mengatur osmolaritas (kandungan garam dan air), pada cairan internalnya, sehingga tekanan osmotik dapat stabil dan mantap.
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat diketahui mekanisme kerja osmoregulasi melalui dua aktifitas (Anggoro, 1992) menyatakan bahwa :
a.    Mempertahankan kemantapan osmolaritas cairan ekstrasel tanpa harus isosmotik terhadap salinitas media.
b.    Menjaga kemantapan cairan ekstra selnya.
c.    Aktifitas tersebut dilakukan dengan cara mengatur volume air didalam cairan ekstrasel, serta mengatur pertukaran ion antara cairan intra sel dengan cairan ekstra sel.
Efek salinitas terhadap ikan secara langsung mempengaruhi tingkat kerja osmotik, sebagai akibat perbedaan osmolaritas antara cairan dalam tubuh ikan dengan media eksternalnya, kemudian daya absorpsi air media, adapun secara tidak langsung salinitas berpengaruh terhadap ketersediaan oksigen terlarut didalam air.
Osmoregulasi adalah upaya hewan air untuk mengontrol keseimbangan air dan ion antara tubuh dan lingkungannya, atau suatu proses pengaturan tekanan osmose (Effendi, 2003). Karena itu, pengetahuan tentang osmoregulasi sangat penting dalam mengelola kualitas air media pemeliharaan, terutama bila adanya perbedaan salinitas. Osmoregulasi dari beberapa golongan ikan, terdapat ada tiga pola regulasi ion dan air yakni :
1.       Regulasi hipertonik atau hiperosmotik, yaitu pengaturan secara aktif, konsentrasi cairan tubuh yang lebih tinggi dari konsentrasi media, misalnya pada potadrom (ikan air tawar).
2.       Regulasi hipotonik atau hipoosmotik, yaitu pengaturan secara aktif konsentrasi cairan tubuh yang lebih rendah dari konsentrasi media, misalnya pada oseandrom (ikan air laut).
3.       Regulasi isotonik atau isoosmotik, yaitu bila konsentrasi cairan tubuh sama dengan konsentrasi media, misalnya ikan – ikan yang hidup pada daerah estuari ..
Menurut Chua dan Teng (1978), kualitas salinitas (kadar garam) perairan yang optimal untuk pertumbuhan ikan kerapu lumpur  > 30-33 ppt. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Suprakto dan Fahlivi, (2007) bahwa salinitas  yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu adalah > 30-33 ppt.



BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1.       Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei sampai Juni 2011 di Laboratorium Uji Balai Karantina Ikan Kelas I Polonia-Medan untuk uji mikroskopis. Uji kualitas air dilaksanakan di lokasi budidaya ikan kerapu lumpur milik UD. Sundoro (Fish Farm and  Trading) di Pantai Timur Belawan. Lokasi penelitian lapang dapat dilihat pada Lampiran 1 dan lay-out tambak penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.
3.2.       Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari ikan sampel, akuades dan desinfektan. Alat yang digunakan terdiri dari multi parameter ion spesifik meter (HANNA instuments-Italy), hand refractometer, termometer, slide glass, mikroskop CCTV dan akuarium beserta kelengkapannya.
Foto bahan dan alat  yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada  Lampiran.
3.3.        Metode Penelitian
3.3.1.      Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah jenis penelitian survey (survey research) dengan tujuan untuk mengetahui prevalensi dan hubungan antar variabel dari populasi sampel yang diambil.
3.3.2.      Tahap Penelitian
Pelaksanaan penelitian dilakukan melalui 2 (dua) tahap dimana untuk masing-masing tahap mempunyai metode penelitian yang berbeda yaitu :
1.      Tahap pertama adalah menginventarisir dan mengkaji status serangan parasit terhadap ikan kerapu yang dibudidayakan dimana biasanya terjadi perbedaan temperatur di dalam air akibat kandungan amoniak tinggi dari pembusukan sisa pakan serta fluktuasi parameter kimia lain. Pada tahap ini dilakukan diagnosis terhadap ikan sampel secara mikroskopis dan konvensional. Hasil analisis yang diperoleh dijadikan data dasar untuk menentukan nilai prevalensi dan intensitas parasit. Metode penelitian yang dilakukan adalah deskriptif dimana pada tahap tersebut memperlihatkan gambaran faktual mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi ikan dimana akan dilakukan komparasi dan evaluasi.
2.      Tahap kedua adalah mencari kemungkinan hubungan antara infestasi parasit pada ikan kerapu lumpur dengan parameter air pada masing-masing petak. Pada tahap ini, data-data serangan parasit yang telah ditemukan pada tahap sebelumnya akan dikumpulkan dan dianalisis tentang sebab dan hubungannya.

3.3.3.      Pengambilan Sampel
Pada penelitian ini jumlah ikan kerapu lumpur yang dibudidayakan pada masing-masing petak adalah 200.000 (dua ratus ribu) ekor. Setelah melalui pengamatan gejala klinis ikan, melakukan anamnesa, mengetahui sistem budidaya yang diterapkan serta memperoleh data awal parameter kualitas air, asumsi insidensi parasit ditentukan pada 20 %, sehingga menurut kaidah pengambilan sampel yang merujuk pada Amos (1985) dalam Hendriyanto (2009), pada populasi ≥100000 ekor adalah 9 (sembilan) ekor sehingga total sampel ikan masing-masing petak adalah 60 (enam puluh) ekor. Kaidah pengambilan sampel dapat dilihat pada Lampiran.

3.4.       Prosedur Penelitian
3.4.1.      Pengukuran  parameter kualitas  air
Pengukuran parameter kualitas air dilakukan langsung di masing-masing stasiun pengamatan. Parameter fisika (temperatur, salinitas dan DO) diukur setiap hari dengan menggunakan alat yang telah disiapkan sekaligus melakukan pengmbilan sampel ikan setiap 1 (satu) kali seminggu.
Temperatur air diukur dengan menggunakan thermometer. Salinitas diukur dengan menggunakan hand refractometer dan oksigen terlarut diukur dengan menggunakan DO meter digital.
3.4.2.      Penyimpanan dan Penanganan Sampel
Ikan yang digunakan adalah ikan kerapu ukuran 3-4 inci (± 7,5-10 cm) yang diperoleh dari masing-masing petakan tambak. Jumlah ikan diambil 10 (sepuluh) ekor per petak yang diambil secara acak dari karamba jaring apung di dalam petakan ta1mbak.    
Setelah terkumpul, ikan sampel kemudian dikemas dengan menggunakan plastik yang diisi oksigen agar dapat bertahan hingga ± 8 jam dan kemudian disimpan dalam akuarium yang berbeda untuk masing-masing stasiun pengambilan dengan diberi kode (ukuran akuarium 60 x 40 x 40 cm3  diisi air sebanyak 10 liter). Sebelum digunakan, akuarium didesinfeksi dengan KMnO4 5 (lima) ppm dan dibilas serta dikeringkan.


3.1.1.      Pemeriksaan Mikroskopis
Organ yang diperiksa meliputi bagian tubuh eksternal dan internal. Bagian eksternal yang diperiksa meliputi permukaan tubuh termasuk lendir pada sirip dan kulit serta insang, sedangkan bagian tubuh internal yang diperiksa adalah usus. Permukaan tubuh, insang dan usus dijadikan sebagai organ target pemeriksaan bakteri karena kulit dan insang berhubungan langsung dengan air sebagai perantara masuknya parasit sedangkan usus merupakan organ yang diduga dijadikan target infeksi parasit melalui pakan atau air. Pemeriksaan terhadap ektoparasit dilakukan dengan mengamati permukaan tubuh ikan secara visual, selanjutnya lendir pada permukaan tubuh dan sirip dikerik, dibuat preparat ulas pada gelas objek yang telah ditetesi larutan fisiologis kemudian diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 200 kali. Lalu, operkulum dibuka, seluruh bagian insang dilepas dan dipindahkan ke gelas objek yang telah diberi larutan fisiologis kemudian diamati dibawah mikroskop. Pemeriksaan endoparasit dilakukan dengan cara ikan dibedah dari bagian anus hingga ke bawah sirip dada. Rongga perut dan permukaan organ diamati secara visual dengan menggunakan kaca pembesar. Usus dikeluarkan dan dimasukan ke dalam cawan petri berisi larutan Ikan yang terinfeksi dan parasit yang ditemukan dihitung jumlahnya untuk mengetahui prevalensi dan intensitas.
Selanjutnya usus dibuka dan isinya dikeluarkan lalu isi serta dinding organ diamati di bawah mikroskop. Parasit diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri morfologi khusus yang terkait dengan penentu sistematikanya mengikuti petunjuk dari Kabata (1985).

3.2.       Analisis Data
3.2.1.      Analisis Prevalensi Parasit.
Infestasi parasit pada ikan ditentukan oleh dua parameter yaitu prevalensi dan intensitas. Prevalensi adalah Persentase jumlah ikan yang terinfeksi dibagi jumlah total ikan yang diperiksa. Intensitas adalah rasio antara jumlah parasit yang ditemukan dibagi dengan jumlah ikan yang terinfeksi. Rumus yang digunakan menurut  Kabata (1985) adalah sebagai berikut :


Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara parameter kualitas  air (DO, temperatur, salinitas) dengan  keberadaan parasit (intensitas) digunakan analisis regresi berganda dan korelasi serta mencari koefisien determinasi (R2) untuk mengetahui prosentase keberadaan parasit yang dijelaskan oleh faktor parameter kualitas air melalui hubungan linear.

3.2.2.      Analisis Regresi Berganda
Jika parameter dari suatu hubungan fungsional antara satu variabel dependen dengan lebih dari satu variabel independen ingin diestimasikan, maka analisa regresi berkenaan dengan regresi berganda (multiple regression).
Untuk mengetahui hubungan antara parameter temperatur (X1), oksigen (X2) dan salinitas (X3) terhadap prevalesi parasit (), maka model persamaan regresi linier berganda yang digunakan adalah :
Y = β0 + β1X1i + β2X2i +…+ βk Xki + εi


Dimana :
Y                 = Pengamatan ke-i pada variabel tak bebas
Xik              = Pengamatan ke- i pada variabel bebas
β0                = Parameter Intersep
β1,β2,….βk = Parameter Koefisien regresi variabel bebas
εi                 = Pengamatan ke i variabel kesalahan

Untuk mengetahui besar koefisien korelasi parsial antar peubah dan signifikansinya serta koefisien determinasi akan digunakan software SPSS Versi 15 (Ghozali, 2001).

3.2.3.      Uji t
Untuk mengetahui apakah factor cuaca (hujan dan kemarau) mempengruhi kualitas air budidaya ikan kerapu, maka digunakan uji t pada taraf nyata 0,05 dan 0,01. Bila varian kedua data kualitas air pada cuaca hujan dan kemarau berbeda, maka rumus uji t yang digunakan (Ghozali, 2001) adalah :
t =
Derajat bebas dF (degrre of freedom) dihitung dengan rumus sebagai berikut :
df =
Untuk menentukan apakah varian sama atau beda, maka digunakan rumus sebagai berikut :
F =
dfa = na – 1 dan dfb = nb - 1
Bila nilai P > α, maka varian sama, namun bila nilai P ≤ α, berarti variannya berbeda. Bila variannya ternyata sama, maka uji t yang digunakan sebagai berikut:
t =
Dimana Sp :

Ketrangan :
Xa = Rata-rata data parameter kualitas air cuaca hujan
Xb = Rata-rata data parameter kualitas air cuaca kering
Sp = Standar Deviasi Gabungan
Sa = Standar Deviasi data untuk cuaca hujan
Sb = Standar Deviasi data untuk cuaca kemarau
na = banyaknya data di cuaca hujan
nb = banyaknya data di cuaca kering
df = na + nb - 2
  
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hubungan Parameter Temperatur, Oksigen Terlarut dan Salinitas dengan Prevalensi Parasit

         Hasil pengukuran kualitas air temperatur, oksigen terlarut dan salinitas di lokasi budidaya ikan kerapu, dan hasil pemeriksaan mikroskopik mengenai jenis parasit dan tingkat prevalensinya diperlihatkan pada tabel berikut.
Tabel 2.  Parameter Kualitas Air dan Prevalensi Parasit pada Ikan Kerapu Lumpur
Minggu ke
Suhu (oC)
(X1)
DO (ppm)
(X2)
Salinitas (ppt)
(X3)
Prevalensi (%)
(Y)
1
30,00
5,00
25,00
0
2
31,47
5,36
25,07
60
3
31,14
5,44
24,57
75
4
31,20
5,48
25,00
100
5
30,15
5,02
24,35
95
6
31,43
5,78
25,86
90

            Berdasarkan data pada Tabel 2, hubungan antara variabel temperatur (X1), oksigen terlarut (X2), dan Salinitas (X3) dengan prevalensi parasit (Y) adalah :  Y = 1208,681 – 17, 675 X1 + 176,839 X2 – 61, 576 X3 (R = 0,78). Dari persamaan regresi linier berganda ini terlihat bahwa koefisien parameter X1 dan X3 bertanda negatif, sedangkan koefisien parameter X2 bertanda positif. Hal ini berarti parameter X1 dan X2 bersifat mereduksi terhadap prevalensi parasit. Artinya, setiap kenaikan 1 unit temperatur menyebkan perevalensi parasit turun 17,675 unit, dan kenaikan 1 unit X3 menyebabkan penurunan prevalensi parasit sebesar 61,576 unit. Hasil selaras dengan pernyataan Manahan (2007) bahwa penurunan temperatur dan salinitas dapat menekan aktivitas mikroba. Berbeda dengan parameter oksigen terlarut (X2) dimana setiap kenaikan 1 unit menyebabkan peningkatan prevalensi parasit sebesar 176,839 unit. Hal ini dapat dipahami karena peningkatan oksigen terlarut dalam air akan mencukupi kebutuhan respirasi aerobik mikroba untuk berkembang.
Dari analisis regresi (Lampiran 4) terlihat bahwa variabel X1, X2 dan X3 mempunyai korelasi yang kuat dan nyata terhadap prevalensi  parasit pada ikan kerapu lumpur. Berdasarkan nilai koefisien korelasi regresi, dapat dinyatakan bahwa 77,9 % prevalensi parasit dapat diterangkan oleh parameter temperatur, oksigen terlarut dan salinitas, sedangkan 22,1 % disebabkan oleh faktor lain.
            Berdasarkan nilai koefisien korelasi parsial antar peubah, ternyata parameter yang paling kuat mempengaruhi prevalensi parasit adalah kadar oksigen terlarut. Selain itu, temperatur juga berkorelasi kuat dan sangat nyata dengan kadar oksigen terlarut. Hal ini sesuai dengan pernyataan Manahan (2007) bahwa penurunan temperatur akan menyebabkan meningkatnya kelarutan oksigen dalam air dan sebaliknya. Demikian juga salinitas berkorelasi dengan temperatur, karena bila temperatur air naik maka salinitas juga meningkat.

Tabel 3. Koefisien Korelasi Parsial Antar Peubah.
Parameter
 Korelasi
Temperatur
(oC)
DO
(ppm)
Salinitas
(ppt)
Prevalensi Parasit (%)
Temperatur (oC)
Nilai Korelasi
1
0.883**
0.519*
0.488*

Sig. (2-tailed)

0.020
0.292
0.326

N
6
6
6
6
DO (ppm)
Nilai Korelasi
0.883**
1
0.709*
0.526*

Sig. (2-tailed)
0.020

0.115
0.284

N
6
6
6
6
Salinitas (ppt)
Nilai Korelasi
0.519*
0.709*
1
-0.020

Sig. (2-tailed)
0.292
0.115

0.969

N
6
6
6
6
Prevalensi Parasit
Nilai Korelasi
0.488*
0.526*
-0.020
1

Sig. (2-tailed)
0.326
0.284
0.969


N
6
6
6
6
4.2. Pengaruh Cuaca Terhadap Perubahan Kualitas Air Tambak Kerapu
Kuliatas air memiliki peran vital dalam proses budidaya ikan, karena perubahan kulitas air dapat menyebabkan dampak negatif secara langsung terhadap ikan budidaya, dan perubahan manifetasi serangan penyakit atau parasit terhadap ikan buddaya. Menurut Wardoyo (1978) kualitas air dalam tambak khususnya dengan sistem pergantian air terbatas, sangat dipengaruhi faktor lingkungan seperti kondisi cuaca, kualitas sumber air, dan manajemen kualitas air tambak. Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air tambak milik UD Sundoro, Belawan antara bulan Mei – Juni 2011 (hujan – kemarau) ternyata nilai parameter kualitas air tidak banyak berubah.  Hasil uji t juga memperlihatkan bahwa perubahan cuaca lokal berpengaruh tidak nyata terhadap perubahan kualitas air tambak. Hal ini diduga disebabkan pada bulan Juni yang umumnya bersifat kering (arid) ternyata frekwensi hujan masih relatif besar di wilayah ini, sehingga tidak terjadi perubahan kualitas air yang nyata.

Tabel 4.  Uji t Pengaruh Cuaca (iklim-kemarau) Terhadap Perubahan Kualitas Air.
Parameter
N
df
t
Sig. (2-tailed)
Temperatur
3
2
-0.075)ns
0.947
Oksigen Terlarut
3
2
-0.637)ns
0.589
Salinitas
3
2
-0.321)ns
0.779

4.3.    Kualitas Air
Dari 2 (dua) petak tambak yang diteliti diperoleh data parameter kualitas air harian yaitu temperatur, oksigen terlarut (DO) dan salinitas. Stasiun pengamatan dilakukan pada 5 (lima) titik didalam keramba yang dilakukan secara random sampling. Data pengamatan parameter kualitas air harian dapat dilihat pada lampiran.


4.3.1.  Temperatur
Data harian petak I untuk parameter temperatur menggunakan termometer 5 (lima) buah untuk masing-masing petak dengan tujuan agar tiap-tiap stasiun pengambilan sampel tidak terjadi perbedaan temperatur oleh waktu pengecekan. Temperatur selama penelitian pada petak I dan II berkisar 30-32 oC. Grafik temperatur air bulan Mei dan Juni di tambak I dan II dapat dilihat pada lampiran.
Menurut Effendi (2003) bahwa temperatur suatu bada air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude), ketinggian (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara, penutupan awan, aliran air dan kedalaman air.
Temperatur dalam budidaya ikan berpengaruh terhadap laju metabolisme, pemijahan dan penetasan telur, aktivitas patogen, sistem imunitas, daya larut senyawa kimia, serta kalarutan oksigen dan karbondioksida. Ikan adalah hewan poikiotermal, dimana temperatur lingkungan sangat berpengaruh tehadap metabolisme termasuk sistem imunitas (Noga, 2000). Apabila temperatur mengalami penurunan akan menyebabkan kelarutan oksigen meningkat, laju metabolism menurun, nafsu makan berkurang, pertumbuhan berkurang, sistem imun menurun, gerakan ikan melemah, disorientasi sehingga ikan dapat mengalami kematian. Sedangkan bila temperatur meningkat, maka temperatur tubuh meningkat, laju metabolisme juga meningkat, konsumsi oksigen bertambah sedangkan kadar oksigen terlarut menurun, toksistas perairan dari senyawa kimia meningkat, jumlah patogen meningkat sehingga ikan mudah terekspose oleh penyakit dan dapat menimbulkan kematian.
Fluktuasi temperatur air pada petak I dan II berkisar 10oC. kondisi cuaca yang tidak stabil selama penelitian terutama curah hujan yang terjadi sangat mempengaruhi temperatur harian. Secara umum temperatur diatas permukaan air akan lebih tinggi dari pada temperatur dibawah permukaan air akan tetapi pada petak I dan II selama penelitian mengalami kondisi yang tidak normal walaupun perbedaan temperatur masih dibawah 10oC dimana kemungkinan kecil dapat terjadi perubahan metabolisme yang cepat terhadap ikan. Hal ini seperti yang dikemukakan Ghufra (2007) bahwa peningkatan temperatur air sebesar 10oC menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2 – 3 kali lipat.
Data temperatur harian selama penelitian pada petak I dan II mempunyai kisaran yang sama yaitu 30 – 32 oC. Dari temperatur air tersebut lebih tinggi 1 oC dari standar baku dimana baku mutu kualitas air yang cocok untuk budidaya ikan kerapu lumpur 24 – 31 oC seperti yang dikemukakan oleh Chua dan Teng (1978), kualitas perairan yang optimal untuk pertumbuhan ikan kerapu lumpur berkisar 24-31oC. Sementara itu Suprakto dan Fahlivi (2007), mengatakan temperatur air berkisar 27-29oC akan tetapi temperatur tersebut masih mempunyai toleransi karena peningkatan < 10 dimana ikan masih dapat mengkonsumsi oksigen dengan normal. Hal ini dibuktikan dengan tidak adanya kematian pada ikan akibat kekurangan oksigen yang merupakan dampak dari tempertur tinggi. Akan tetapi metabolism ikan lebih tinggiakibat dari temperatur yang lebih tinggi dari kisaran normal. Hal ini seperti yang dikatakan oleh (Wardoyo, 1978) bahwa rata-rata metabolisme ikan berhubungan dengan temperatur yang tinggi sedangkan temperatur rendah (15 oC) akan menyebabkan immunosupresi. Hal ini juga dikatakan oleh Clem et.al (1984) dalam Noga (1996) bahwa menurunnya temperatur menyebabkan immunosupresi sedangkan meningkatnya temperatur menyebabkan tekanan hormone sehingga pathogen dapat masuk secara cepat.
Tingginya temperatur di bawah permukaan air diduga karena adanya bahan organik seperti ammoniak yang mengendap didasar tambak dimana mengeluarkan panas. Hal ini mungkin tingginya osmoregulasi yang dilakukan ikan melalui proses ekskresi serta pembusukan sisa pakan yang mengendap di dasar tambak. Chui et.al, (1988); Cai et.al, (1992) dan Tanaka et.al, (1995) dalam Taukhid (2006) mengatakan bahwa temperatur perairan sangat mempengaruhi ekskresi ammonia dari ikan yang dipelihara. Peningkatan laju ekskresi ammonia pada temperatur tinggi mengindikasikan bahwa laju metabolisme yang semakin tinggi pula dimana secara parsial memicu proses deaminasi asam amino. Hal lain yang memungkinkan menyebabkan temperatur di bawah permukaan air lebih tinggi adalah karakteristik air yang merupakan penyimpan panas yang baik.
Wardoyo (1978) mengatakan bahwa perubahan temperatur air berlangsung secara lambat sehingga air memiliki sifat sebagai penyimpan panas yang sangat baik. Sifat ini yang dapat menghindarkan terjadinya perubahan temperatur yang mendadak yang dapat menyebabkan organisme perairan stres.

4.3.2.  Oksigen Terlarut (DO)
Oksigen terlarut (DO) pada petak I masing-masing stasiun pengamatan mempunyai kisaran nilai 4,2 – 6,4 mg/L, sedangkan pada petak II 4,2 – 6,4 mg/L. Jika dirata-ratakan, untuk data harian petak I mempunyai kisaran nilai DO 5.42 mg/L. Sedangkan pada petak II mempunyai kisaran 5.4092 mg/L. Grafik DO air bulan Mei dan Juni di tambak I dan II dapat dilihat pada lampiran.
Oksigen merupakan salah satu gas terlarut diperairan. Kadar oksigen yang terlarut di perairan alam bervariasi, tergantung pada temperatur, salinitas, turbulensi air dan tekanan atmosfer. Semakin besar temperatur dan ketinggian (altitude) serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil (Jeffries dan Mills 1996 dalam Effendi 2006). Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung pada percampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk ke badan air.
Kandungan oksigen terlarut pada petak I dan II cenderung berfluktuasi setiap harinya. Total nilai DO petak I lebih besar dari petak II dimana pada petak I mempunyai rata-rata nilai 5.42 mg/L sedangkan pada petak II mempunyai rata-rata nilai 5.4092 mg/L. Hal ini dikarenakan persaingan oksigen oleh organisme yang ada, pengaruh cuaca, kondisi gelombang air dan kandungan bahan organik yang ada. Alifuddin, (2003) dalam Wardoyo (1978) mengatakan bahwa kandungan oksigen terlarut dapat menurun akibat pernafasan organisme air dan perombakan bahan organik serta cuaca mendung dan aliran angin yang kecil. Kemungkinan yang lain adalah karena fluktuasi temperatur yang terjadi di dalam tambak. Kondisi temperatur di bawah permukaan air cenderung selalu lebih tinggi jika dibandingkan dengan di atas permukaan. Kadar oksigen pada petak I dan II memenuhi persyaratan baku mutu menurut SNI 01-6488.4-2000. Boyd, (1988) mengatakan bahwa kandungan oksigen terlarut  untuk pertumbuhan ikan adalah 5 mg/L.
Peningkatan temperatur sebesar 1 oC akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10% (Brown, 1987) dalam Wardoyo (1978). Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol (anaerob).
Rendahnya kadar oksigen di suatu perairan dapat menyebabkan ikan menjadi stress sehingga sistem imun tubuh ikan menurun. Pada kondisi yang demikian, ikan akan sangat mudah terekspose oleh patogen, baik parasit maupun bakteri.

4.3.3.  Salinitas
Salinitas pada petak I dan II mempunyai kisaran yang sama yaitu 23 – 27 ppt. Pengukuran parameter ini dilakukan dengan menggunakan hand refractometer dimana setiap stasiun pengamatan diambil sampel airnya untuk dianalisis. Salinitas pada petak I dan II walaupun mempunyai kisaran yang sama tetapi terjadi fluktuasi jika dilihat pada kadar hariannya.
Waktu pengukuran dilakukan setiap hari pada jam 07.00 dimana pergantian air terjadi saat pasang naik dan surut sehingga dapat dipastikan air di dalam kolam tercampur homogen. Grafik salinitas petak I dan II bulan Mei dan Juni dapat dilihat pada lampiran.
Salinitas adalah konsentrasi total ion yang terdapat di perairan (Boyd, 1988). Salinitas menggambarkan padatan total di dalam air, setelah semua karbonat di konversi menjadi oksida, semua bromida dan iodida digantikan oleh klorida, dan semua bahan organik telah dioksidasi. Kisaran salinitas pada petak I dan II berkisar 23 – 27 ppt. untuk budidaya ikan kerapu lumpur, salinitas yang direkomendasikan menurut SNI 01-6488.4-2000 adalah 31 – 34 ppt. Menurut Chua dan Teng (1978), kualitas salinitas (kadar garam) perairan yang optimal untuk pertumbuhan ikan kerapu lumpur > 30-33 ppt. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Suprakto dan Fahlivi, (2007) bahwa salinitas  yang cocok untuk pertumbuhan ikan kerapu adalah > 30-33 ppt. Kondisi salinitas pada petak I dan II masih di bawah baku mutu yang direkomendasikan. Hal ini mungkin disebabkan karena kontribusi air tawar di perairan sekitar budidaya besar akibat curah hujan yang tinggi. Menurut SEAFDEC (2000) dalam Hendriyanto (2009), kisaran salinitas sudah memenuhi standar yaitu pada kisaran 20-40 ppt sedangkan menurut Kohno et al., (1988) dalam Hendriyanto (2009), salinitas pada budidaya kerapu jaring apung harus berada pada kisaran 20 - 32 ppt. perairan tersebut masuk ke dalam jenis payau polyhaline karena mempunyai kisaran salinitas 16-30 ppt. hal ini seperti yang dikatakan oleh Alifuddin (2003) dalam Hendriyanto (2009) bahwa perubahan salinitas terjadi sewaktu-waktu akibat hujan lebat dan air tawar masuk kedalam tambak. Sedangkan peningkatan salinitas akan terjadi pada musim kemarau karena adanya penguapan air dan pergantian air yang terbatas. Tingkat salinitas yang terlampau rendah atau terlampau tinggi dapat mengakibatkan respon stress dari akut hingga kronis pada ikan budidaya (Noga, 2000).
Semakin tinggi salinitas maka kadar oksigen terlaut di perairan akan semakin menurun, hal ini menyebabkan ikan menjadi stress dan mudah terkena penyakit, selain itu, perubahan salinitas yang signifikan dapat mempengaruhi sistem osmoregulasi ikan (Mulyanto, 1992) dalam Hendriyanto (2009). Nurhudah, (2006) dalam (Mulyanto, 1992) mengatakan bahwa persyaratan hidup terhadap parameter salinitas akan tergantung dari spesies dan umur dari organisme perairan.

4.4.    Infestasi Penyakit
Jenis penyakit yang menyerang pada kerapu lumpur setelah dilakukan analisa laboratorium yang paling dominan adalah parasit yang berada di organ luar (ektoparasit). Hasil yang ditemukan adalah Diplectanum sp., Haliotrema sp yang terdapat pada insang dan Trichodina sp pada kulit.
Jumlah ikan kerapu lumpur yang dibudidayakan dengan system race-way masing-masing petak adalah 200.000 (dua ratus ribu) ekor. Setelah melalui pengamatan gejala klinis ikan, melakukan amnesa, dengan sistem budidaya yang diterapkan serta memperoleh data awal parameter kualitas air, ternyata prevalensi parasit ditemukan 20 %, sehingga kaidah pengambilan sampel pada populasi ≥100.000 ekor adalah 10 ekor (sepuluh) ekor terpenuhi. Jadi, total sampel ikan masing-masing petak adalah 60 (enam puluh) ekor.

4.5.    Prevalensi Ektoparasit
4.5.1. Insang
Pada petak I terdeteksi sebanyak 37 (tiga puluh tujuh) ekor ikan terinfeksi Diplectanum sp. Prevalensi parasit Diplectanum sp sebagai berikut:

= 61,6 %
Pada petak II terdeteksi sebanyak 39 (tiga puluh sembilan) ekor ikan terinfeksi Diplectanum sp., sehingga prevalensi parasit sebesar 65,0 %. Rata-rata prevalensi parasit Diplectanum sp adalah 63,3 %.
Prevalensi parasit Dilpectanum sp pada petak I lebih rendah dari petak II, kemungkinan disebababkan oleh amoniak yang tinggi dan kelarutan oksigen yang rendah. Tingkat prevalensi parasit Diplectanum sp terhadap ikan kerapu lumpur yang diamati cukup besar. Gejala klinis ikan kerapu lumpur yang diserang parasit ini ditandai dengan adanya kerusakan pada insang dan operculum yang membuka.Dari pengamatan secara mikroskopis terhadap sayatan segar lamella insang ikan kerapu menggunakan mikroskop, setelah diidentifikasi parasit pada insang ikan kerapu tersebut diketahui sebagai Diplectanum. Parasit  Diplectanum termasuk Ordo Dactylogyridea, Famili Diplectanidae dan dikenal sebagai parasit Monogenetik trematoda insang.  Parasit Diplectanum disebut juga cacing insang, merupakan parasit yang cukup berbahaya dan sering ditemukan pada ikan laut. Parasit  Diplectanum mempunyai kekhasan yang membedakannya dari spesies lain dalam Ordo Dactylogyridea yaitu mempunyai squamodisc (satu di ventral dan satu di dorsal), dan sepasang jangkar yang terletak berjauhan (Zafran et al., 1997). Parasit  Diplectanum adalah parasit yang hidup pada insang ikan.  Ikan kerapu yang terinfeksi  Diplectanum terlihat bernapas lebih cepat dengan tutup insang yang selalu terbuka. Infeksi Diplectanum mempunyai hubungan erat dengan penyakit sistemik seperti vibriosis. Insang yang terinfeksi biasanya berwarna pucat dan produksi lendirnya berlebihan (Chong and Chao, 1986).  Ikan kerapu yang terinfeksi memperlihatkan gejala klinis; menurunnya nafsu makan, tingkah laku berenang yang abnormal pada permukaan air, warna tubuh berubah menjadi pucat. Serangan berat dari parasit ini dapat merusak filamen insang dan kadang-kadang dapat menimbulkan kematian karena adanya gangguan pernapasan. Warna insang ikan kerapu yang terinfeksi terlihat pucat.


Gambar 2.  Kurva Prevalensi Parasit Diplectanum sp

Ikan kerapu lumpur yang diamati juga terinfeksi Haliotrema sp dimana pada petak I menyerang 21 (dua puluh satu) ekor ikan dengan prevalensi 35 %. Pada petak II terdeteksi sebanyak 27 (dua puluh tujuh) ekor ikan terinfeksi Haliotrema sp., sehingga prevalensi parasit sebesar 45 %.  Rata-rata prevalensi parasit ini adalah 40 %. Prevalensi parasit Haliotrema sp pada petak I lebih rendah dari petak II, diduga disebabkan kualitas air pada petak I lebih baik disbandingkan pada petak II.
Parasit ini termasuk Ordo Dactylogyridea, Famili Diplectanidae dan dikenal sebagai parasit Monogenetik trematoda insang. Parasit Haliotrema disebut juga cacing insang, merupakan parasit yang cukup berbahaya dan sering ditemukan pada ikan laut. Ikan kerapu yang terinfeksi memperlihatkan gejala klinis; menurunnya nafsu makan, tingkah laku berenang yang abnormal pada permukaan air, warna tubuh berubah menjadi pucat.  Serangan berat dari parasit ini dapat merusak filamen insang dan kadang-kadang dapat menimbulkan kematian karena adanya gangguan pernapasan. Warna insang ikan kerapu yang terinfeksi terlihat pucat. Upaya pengendaliannya dapat dilakukan dengan perendaman 250 ppm formalin selama 1 jam atau perendaman dalam air laut salinitas tinggi yaitu 60 ppt selama 15 menit  (Zafran et al., 1998; Koesharyani et al., 2001).
Siklus hidup parasit Diplectanum dan Haliotrema adalah dengan menghasilkan telur yang dilengkapi dengan filamen panjang yang berfungsi untuk menempel pada substrat. Dalam waktu sekitar lima hari telur akan matang dan menetas menghasilkan onkomirasidia yang mempunyai bulu getar dan berfungsi aktif sebagai alat renang untuk mencari inang. Kalau sudah menemukan inang maka silia tersebut akan hilang dan onkomirasidium akan berkembang jadi dewasa.

Grafik 3. Kurva Prevalensi Parasit Haliotrema sp

4.5.2.  Kulit
Dari hasil pengamatan pada Petak I, parasit yang ditemukan menyerang kulit adalah Trichodina sp. pada 27 (dua puluh tujuh) ekor ikan, sehingga prevalensi parasit pada petak I adalah 45 %. Demikian juga pada Petak II, ditemukan 27 ekor ikan kerapu yang terinfeksi parasit tersebut, sehingga rata-rata prevalensi parasit Trichodina sp. adalah 45 %.
Ikan kerapu yang terinfeksi Trichodina sp memperlihatkan gejala klinis yaitu mempunyai mucus atau lender yang berlebihan serta warna tubuh agak memudar (pucat). Serangan berat dari parasit ini dapat menimbulkan pendarahan pada kulit.

Grafik 4. Kurva Prevalensi Parasit Trichodina sp
Trichodina sp. tumbuh dengan baik pada kolam-kolam dangkal dan menggenang terutama pada tempat-tempat pemijahan dan pembibitan (Rokhmani. 2002). Ikan yang terinfeksi oleh parasit ini menunjukkan tingkah laku yang aneh, terjadi perubahan warna pada kulit ikan, penurunan berat badan, pada sirip dan insang ikan sering mengalami kerusakan. Parasit ini pada umumnya menimbulkan kematian pada benih-benih ikan (Kabata. 1985).
Berdasarkan pengamatan di lapangan, diduga sebagai faktor predesposisinya adalah  kualitas air yang buruk seperti DO yang rendah, serta suhu yang berfluktuasi. Selain itu tingkat kepadatan ikan yang relatif tinggi di UD Sundoro Belawan dapat mempermudah proses persinggungan ikan lebih banyak dan memungkinkan penyebaran Trichodina sp. lebih cepat dari pada tingkat kepadatannya lebih kecil.
Dari hasil analisis regresi anova bahwa hubungan parameter kualitas air dengan prevalensi parasit sangat berpengaruh. Hal ini ditandai dengan tingkat prevalensi parasit Trichodina sp., Haliotrema sp. dan Diplectanum sp. sangat tinggi yang disebabkan terjadinya fluktuasi parameter kualitas air yang nilai korelasi temperatur 0.488 (48.8 %), oksigen terlarut 0.526 (52.6 %) dan salinitas -0.020 (-2 %) tetapi korelasinya negatif. Kabata (1985) mengatakan bahwa perubahan temperatur yang terjadi sangat cepat akan membawa perubahan patologi pada insang. Halmetoja et al., (1992) dalam Hendriyanto (2009) mengatakan bahwa bahan organik pada level yang tinggi dimana Trichodina sp. dipengaruhi olehnya dapat menyebabkan stress pada ikan.
 Trichodina sp. termasuk dalam jenis parasit Ciliata, yaitu parasit yang bergerak dengan menggunakan bulu-bulu getar (cilia).
Protozoa yang menyerang ikan kerapu adalah Trichodina sp, penyakitnya disebut Trichodiniasis. Trichodiniasis merupakan penyakit parasit pada larva dan ikan kecil yang disebabkan oleh ektoparasit Trichodina. Beberapa penelitian membuktikan bahwa ektoparasit Trichodina mempunyai peranan yang sangat penting terhadap penurunan daya kebal tubuh ikan dan terjadinya infeksi sekunder. Trichodina sp merupakan ektoparasit yang menginfeksi kulit dan insang, biasanya menginfeksi semua jenis ikan air tawar dan air laut. Populasi Trichodina sp di air meningkat pada saat peralihan musim, dari musim panas ke musim dingin. Berkembang biak dengan cara pembelahan yang berlangsung di tubuh inang, mudah berenang secara bebas, dapat melepaskan diri dari inang dan mampu hidup lebih dari dua hari tanpa inang. Parasit jenis ini memiliki dua bagian yaitu anterior dan posterior yang berbentuk cekung dan berfungsi sebagai alat penempel pada inang. Parasit ini juga memiliki dua inti, yaitu inti besar dan inti kecil, inti kecil yang dimiliki berbentuk bundar menyerupai vakuola dan inti besar berbentuk tepal kuda.
Organisme ini dapat menempel secara adhesi (dengan tekanan dari luar), dan memakan cairan sel pada mucus atau yang terdapat pada epidermis. Parasit ini tidak dapat hidup jika diluar inang. Penempelan Trichodina sp., pada tubuh ikan sebenarnya hanya sebagai tempat pelekatan (substrat), sementara parasit ini mengambil partikel organik dan bakteri yang menempel di kulit ikan. Tetapi karena pelekatan yang kuat dan terdapatnya kait pada cakram, mengakibatkan seringkali timbul gatal-gatal pada ikan sehingga ikan akan menggosok-gosokkan badan ke dasar kolam atau pinggir kolam, sehingga dapat menyebabkan luka.
Kematian ikan akibat infeksi Trichodina umumnya terjadi karena ikan memproduksi lendir secara berlebihan dan akhirnya kelelahan atau bisa juga terjadi akibat terganggunya sistem pertukaran oksigen, karena dinding lamela insang dipenuhi oleh lendir. Penularan penyakit ini bisa melalui air atau kontak langsung dengan ikan yang terinfeksi dan penularannya akan didukung oleh rendahnya kualitas air pada wadah tempat ikan dipelihara.
Menurut Noga (1995) dalam Laporan Pemantauan HPIK Stasiun Karantina Ikan Kelas II Luwuk Banggai (2007) Perlakuan yang diberikan untuk ikan yang terinfeksi Trichodiniasis adalah dengan perendaman dengan garam atau asam asetat untuk ikan air tawar sedangkan ikan air laut dengan perendaman air tawar, dapat juga menggunakan formalin dengan kosentrsi tertentu.
Trichodina merupakan jenis parasit yang memiliki bentuk yang sangat menarik, yaitu seperti piring terbang dengan pergerakan berputar dan melayang di permukaan kulit atau insang ikan yang di infeksi. Trichodina yang menyerang kulit, umumnya berukuran > 90μm sedangkan yang menyerang insang biasanya berukuran < 30 μm (Van As dan Basson, 1987 dalam Noga, 2000). Jenis parasit Trichodina memiliki pengait sebagai alat pelekat yang kuat pada inangnya sehingga dapat menyebabkan luka. Luka yang ditimbulkannya ini dijadikan sebagai jalan masuk bagi bakteri untuk menginfeksi benih kerapu lumpur. Parasit ini biasa ditemukan pada perairan dengan temperatur yang cukup tinggi, dapat menyebabkan produksi lendir (mukus) yang berlebihan srta merusak kulit dan permukaan insang (Anonim, 2009).





BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1)            Parameter temperatur, oksigen terlarut dan salinitas mempunyai korelasi yang kuat dan nyata dengan prevalensi parasit pada ikan kerapu lumpur milik UD Sundoro, Belawan.
2)            Perubahan cuaca (hujan – kemarau) berpengaruh tidak nyata terhadap perubahan kualitas air tambak kerapu lumpur.
3)            Tingkat prevalensi parasit tertinggi disebabkan oleh Diplectanum sp (63,3 %), Trichodina sp (45 %), dan Haliotrema sp (40 %).

5.2. SARAN
1.    Monitoring kualitas air tambak dan penyakit harus dilakukan secara berkala.
2.    Perlu dibangun kolam khusus sebagai tempat karantina terhadap ikan sakit yang memerlukan pengobatan menghindari kohabitasi dan kontaminasi terhadap ikan yang lain.
 

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto, E dan Liviawaty E. 1992. Pengendalian Hama dan Penyakit Ikan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Akbar, S. 2001. Pembesaran Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) dan Kerapu Lumpur (Epinephelus fuscoguttatus) di Karamba Jaring Apung. (In) Aliah et al., (Eds) Prosiding Lokakarya Nasional Pengembangan Agribisnis Kerapu, Jakarta.

Anonymous. 1996. Antibiotic, Desinfektan dan Pestisida. Jakarta
Anggoro, S. 1992. Efek osmotik berbagai tingkat salinitas media terhadap daya tetas telur dan vitalitas larva udang windu Penaeus monodon. [Disertasi]. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.

Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Fourth Printing. Auburn University Agricultural Experiment Station, Alabama, USA.
Chua, T. E. and Teng, S. K. 19978. Effects of Feeding frequency on the grouth of young estuary prouper, Epinephelus tauvina Forskal, culture in floating net cages, Aquaculture.
Chong, Y.C. and T.M. Chao.  1986.  Common Diseases of Marine Foodfish.  Fisheries Handbook No. 2.  Primary Production Departement.  Ministry of National Development.  Republic of Singapore.
DKP. 2001. Pembesaran Kerapu Lumpur (Epinephelus suilus) dan Kerapu Tikus (Cromileptes altivelis) di Keramba Jaring Apung. Balai Budidaya Laut. Lampung.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air : Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
-----------------2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta.
-----------------2006. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta.
Ghozali, Imam. 2001. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Edisi kedua. Penerbit: Undip. Semarang.

Ghufra M. H. 2007. Pengelolaan Kualitas Air Dalam Budidaya Perairan, Bhnineka Cipta.

Hamzah, M. S. 2003. Studi Variasi Musiman Beberapa Parameter Oseanografi terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Kerang Mutiara (Pinctada Maxima) di Perairan
Teluk Kombal, Lombok Barat. Seminar Nasional ISOI, Jakarta. 30 – 31 Juli 2003. 12 hal. (in Press).

Heamstra and randall. 1993. FAO Species Catalogoe. Grouper of the World (Family Ephemephelinae, An Annoted and Illustrated Catalogoe of the Grouper, Roccod, Luid, Coral Grouper, And Lyretail Species Known tu Date). Food and Agriculture Organization of the United Nations: Rome.
Hendriyanto, D.A. 2009. Infestasi Ektoparasit pada Kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) di Lingkungan Budidaya Ikan Sistem Race-Way Water. Pantai Timur Belawan, Sumatera Utara [Tesis]. Medan, Universitas Sumatera Utara, Program Pascasarjana.
Hoa, D.T. Phan, V. U. 2007. Monogonea  disease in cultured grouper (Epinephelus spp.) and snapper (Lutjanus argentimaculatus) in Khanh Hoa province, Vietnam. Marine Aquaculture Finfish Network. Faculty of Aquaculture, Nha Trang University, Vietnam.
Kabata. Z. 1985. Parasites and Disease of Fish Cultured in The Tropics. Taylor and Francis: London.
Koesharyani, I., Roza, D., Mahardika, K., Johnny, F., Zafran and Yuasa, K. 2001. Manual for Fish Disease Diagnostic-II. Marine Fish and Crustacean. Disease in Indonesian. Gondol Research Intitute for Mariculture and Japan International Cooperation Agency (JICA).
Kordi. 2001. Pembesaran Ikan Kerapu Bebek di Keramba Jaring Apung. Kanisius. Yogyakarta.
[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan, 2010. Realisasikan Sejumlah Target Perikanan. Jakarta.
Mulyanto. 1992. Lingkungan Hidup Untuk Ikan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Manahan, S.E. 2007.  Environmental Chemistry.  Elsevier Publishing Company. New York.
Noga, E.J. 1996. Fish Disease. Diagnosis and Treatment. Department of Companion Animal and Special Species Medicine. North Caroline State University.
-----------------2000. Fish Disease: Diagnosis and Treatment. Iowa State Uneversity Press.
Nybakken. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit Gramedia: Jakarta.
Ogawa, K.M., M.G. Bondad-Reantaso, M. Fukudome and H. Wakabayashi.  1995.  Neobenedenia girellae (Hargis, 1955) Yamaguti, 1963 (Monogenea: Capsalidae) From Cultured Marine Fishes of Japan.  J. Parasitology.
Rakovac, R.C., Perovic, I.S., Popovic, N.T., Hacmanjek, m., Simpraga, B. and Teskredzik, E. 2002. Health status of wild and cultured sea bass in the northern Adriatic Sea. Center for Marine and Environmental Research, LIRA, Bijenicka 54, 10000 Zegreb, Croatia.
Sianipar, P. 1988. Budidaya Ikan kerapu (Epinephelus spp) di Goba Besar Pulau Pari. Dalam: Teluk Jakarta. Biologi, Budidaya, Oseanografi, Geologi dan kondisi Perairan. Proyek PSDL, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. Jakarta.
Smith, L.S. 1982 ” Introduction to Fish Physiology, TFH Publication, Inc. Seattle Washington , USA. Osmoregulation .
Sunyoto. 2000. Pembesaran Kerapu dengan Keramba Jaring Apung. Penebar Swadaya: Jakarta.
Suprakto, B. dan Fahlivi, M. R. 2007. Studi tentang kesesuaian lokasi buidaya ikan di KJA di perairan Kecamatan Sapeken Kabupaten Sumenep. Pembangunan kelautan berbasis IPTEK dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Prosiding Seminal Kelautan III, Universitas Hang Tuah. Surabaya.
Taukhid, 2006. Manajemen Kesehatan Ikan dan Lingkungan. Laboratorium Riset Kesehatan ikan. Bogor.
Umi Narimawati. 2007.  Riset Manajemen Sumber Daya Manusia Aplikasi dan Contoh Perhitunganya. Jakarta. Agung Media.
Wardoyo, S.T.H. 1978. Kriteria Kualitas Air Untuk Keperluan Pertanian dan Perikanan. Dalam :  Prosiding Seminar Pengendalian Pencemaran Air. (eds Dirjen Pengairan Dep. PU).
Zafran. et al., 1997. Manual for Fish Diseses Diagnosis. Marine Fish and Crustacean Diseases in Issndonesia. Gondola Research Institute for Fisheries. Gondola. Bali.